Archive for Educate

Menggagas Arsitektur Syariah

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Pecinta aristektur


Berbicara arsitektur Islam, orang sering teringat pada bangunan-bangunan peninggalan sejarah keemasan Islam, dari ujung Barat (Cordoba di Spanyol) melewati  Istanbul di Turki, Samarkand di Asia Tengah, hingga ke ujung timur seperti di Ternate di Indonesia.  Yang sering menjadi titik perhatian adalah bangunan seperti masjid atau yang serupa (Masjid Cordoba, Aya Sofia, Masjid Sultan Ahmet), namun juga sekolah (Al-Azhar) dan istana (Topkapi Palace).

Dalam era modern, arsitektur Islam diasosiasikan dengan arsitektur gaya timur tengah lengkap dengan lengkung-lengkung bak sebuah masjid dan hiasan kaligrafi di sekujur dinding.

Namun bila kita cermati, apa yang menonjol di atas belum memberikan secara lengkap makna di balik istilah arsitektur Islam yang semestinya adalah suatu rancang bangunan yang didasari oleh aqidah Islam dan memenuhi norma-norma dalam syariat Islam.

Ini berarti, tujuan dibuatnya bangunan itu adalah comply atau sesuai dengan tujuan syariah atau maqashidus syariah, yakni: melindungi jiwa, harta, keturunan, agama, akal, kehormatan, keamanan, dan negara.

Untuk itu perlu dibahas secara singkat dalam tulisan ini, bagaimana suatu arsitektur yang bisa memenuhi maqashidus syari’ah tersebut.

Arsitektur yang melindungi Jiwa

Suatu bangunan harus mampu melindungi seseorang dari berbagai potensi yang mengancam jiwa, seperti:

  • Ancaman cuaca, termasuk banjir; artinya arsitektur suatu rumah dapat disebut islami bila penghuninya bisa merasa tenang tidak akan kebanjiran tiba-tiba tatkala mereka tidur nyenyak.  Kekuatan atap dan saluran air hujan cukup untuk menghadapi hujan terlebat.  Dan idealnya rumah tersebut memang di lokasi bebas banjir.  Namun manakala lokasi itu memang rawan banjir, maka harus dipikirkan mekanisme teknis untuk menangkalnya – misalnya dengan rumah panggung, rumah ponton, atau rumah yang dilengkapi pompa otomatis.
  • Bencana alam seperti gempa dan tsunami; hampir sama dengan ancaman cuaca, artinya konstruksi rumah tersebut harus dibuat tahan gempa dan tsunami.
  • Risiko kebakaran; artinya bangunan itu dibuat dengan bahan-bahan tahan api, atau dengan alat-alat pendeteksi dini kebakaran, pemadam api otomatis atau jaringan listrik yang bebas overload dan berrisiko hubungan pendek yang memicu kebakaran.
  • Ancaman hama dan binatang buas; ini artinya desain rumah itu sedemikian rupa sehingga tidak perlu ada binatang tak diundang masuk dan berrisiko kesehatan, mulai dari srigala, ular, tikus hingga ke lalat atau nyamuk.  Untuk yang terakhir ini bisa menggunakan jaring kasa atau tanaman spesial yang mampu menghalau serangga.
  • Ancaman polusi, baik yang berasal dari luar maupun dalam; artinya polusi udara dari luar tidak masuk ke dalam, dan pada saat yang sama udara kotor di dalam (terutama dari dapur) dapat berganti dengan udara segar perlu sistem ventilasi yang baik, yang sewaktu-waktu dibutuhkan dapat dibuka-tutup dengan cepat.  Sementara itu bahan-bahan yang digunakan dalam konstruksi (termasuk cat) juga harus yang ramah lingkungan dan ramah kesehatan.

Pendek kata arsitektur di sini berupaya agar bangunan benar-benar aman dan sehat.

Arsitektur yang melindungi Harta

Suatu bangunan harus mampu melindungi harta penghuninya, baik langsung maupun tak langsung.  Melindungi langsung telah jelas, yakni tidak memberi kesempatan tanga jahil untuk usil; sedang tak langsung artinya bangunan itu dirancang sedermikian rupa sehingga hemat dalam pemanfaatan dan pemeliharaannya.  Dia hemat energi, karena letak ruang-ruangnya juga optimal dalam mendukung fungsi bangunan, serta optimal menggunakan cahaya alam atau udara segar, tak perlu banyak lampu atau AC.  Kalaupun menggunakan lampu listrik atau AC akan dipilih yang hemat energi.

Arsitektur yang melindungi Kehormatan

Suatu bangunan harus memiliki tempat privacy, di mana berlaku syariat yang berbeda dengan tempat yang mudah diakses (dilihat / dimasuki) publik.  Pada tempat inilah wanita tidak wajib mengenakan jilbab atau kerudung.  Dengan demikian kehormatan mereka terjaga.  Artinya keberadaan pagar, dinding luar atau bentuk dan jenis jendela menjadi penting.

Pada ruang privat inipun, ada kamar yang terpisah antara suami istri dengan anak-anaknya, dan antara anak laki-laki dengan anak perempuan, sehingga masing-masing dapat tumbuh normal sesuai syariat tentang ijtima.  Ada pula ruang untuk menampung tamu atau anggota keluarga yang boleh aurat wanita lain di dalam rumah itu.  Pada rumah yang cukup besar, pemisahan ini bisa sampai pada ruang rekreasi dalam rumah, misalnya kolam renang.

Pada masa lalu di istana para bangsawan, daerah para wanita ini sering disebut harema yang arti sesungguhnya adalah kawasan yang tidak boleh dimasuki sesuka hati oleh lelaki yang bukan mahram.

Arsitektur yang melindungi Keturunan

Terkait dengan di arsitektur yang melindungi kehormatan adalah arsitektur yang melindungi keturunan.  Anak-anak harus dapat dibesarkan secara islami dan sehat dalam rumah itu.  Ada ruang yang cukup agar anak-anak dapat bermain, berkreasi dan mengembangkan seluruh potensinya, baik kognitif, afektif maupun psikomotoriknya.  Pada area yang cukup luas, perlu untuk membuatkan semacam ruang anak (Kidsroom) tempat dia berlatih seperti melukis, bernyanyi, menari, olahraga, komputer, eksperimen sains dan sebagainya.  Setidaknya setiap anak mendapat tempat belajar yang nyaman dan kondusif.

Selain itu, harus dirancang sedemikian rupa sehingga kemungkinan kecelakaan di dalam rumah karena terguling di tangga atau terbentur sudut runcing dapat dihindari.

Arsitektur yang melindungi Agama

Agama adalah hal yang terpenting untuk diwariskan pada anak.  Ini artinya kehidupan religius harus benar-benar ada di rumah.  Jangan jadikan rumahmu kuburan kata Nabi dirikan sholatlah sunat di rumah.  Secara arsitektoris sebaiknya ada tempat khusus untuk taqarrub (ritual agama), seperti tempat meditasi, yaitu mushola berikut tempat wudhunya.  Mushola ini bisa untuk sholat berjama’ah, taddarus atau diskusi agama.  Di dalam mushola pula bisa ditaruh perpustakaan buku-buku agama.  Bahkan bila mushola ini cukup besar bisa untuk aktivitias pengajian bersama tetangga.

Selain ruang khusus seperti ini, suasana di rumah juga bisa dibuat lebih melindungi agama dengan menaruh kaligrafi atau pesan-pesan moral.

Arsitektur yang melindungi Akal

Setelah arsitektur menguatkan sisi nafsiyah dengan suasana religus, maka fungsi rumah perlu untuk juga menguatkan akal.  Jadilah rumah yang cerdas dan mencerdaskan.  Mirip dengan fungsi sebelumnya, di sini perlu ada ruang untuk mengembangkan diri dan meningkatkan ilmu di mana orang merasa nyaman belajar atau meningkatkan wawasannya.  Hal itu bisa berupa ruang multimedia (ada TV, internet, …) atau perpustakaan, atau sekedar ruang baca dan belajar.  Suasana belajarpun perlu dipupuk dengan memasang hiasan-hiasan dinding yang merangsang berpikir.

Arsitektur yang melindungi Keamanan

Secara umum sebuah bangunan harus mampu memberikan rasa aman, baik dari yang mengancam jiwa, harta, kehormatan, keturunan agama, maupun akal.  Karena itu perlu ada beberapa konsep keamanan yang harus dipikirkan.  Pada umumnya konsep yang telah banyak dimengerti adalah keamanan jiwa dan harta.  Namun kalau hanya konsep ini saja yang diterapkan, maka rumah akan menjadi benteng.  Amannya hanya dari gangguan eksternal.  Sebaiknya memang konsep ini mengintegrasikan juga yang lain.  Rumah jadi aman luar dalam.  Di dalam tidak ada resiko pada kehormatan, keturunan, agama maupun akal.

Arsitektur yang melindungi Negara

Melindungi negara harus dibangun dari bawah., dari kerukunan antar tetangga.  Mereka satu sama lain akan saling melindungi.  Ini artinya, arsitektur harus sedemikian rupa sehingga tidak mengisolir rumah dari tetangganya.  Justru seharusnya, arsitektur membuat antar tetangga bisa akrab, saling menyayangi sehingga timbul ukhuwah.  Fungsi ini harus bisa terpenuhi tanpa berbenturan dengan fungsi lainnya (misalnya fungsi melindungi kehormatan).

Kesimpulan

Bangunan berarsitektur syariah dapat diringkas sebagai:

  • Didesain tahan banjir, gempa, kebakaran, hama maupun polusi.
  • Hemat energi, dalam pemakaian / pemeliharaan.
  • Penghuni wanita memiliki ruang privat yang hanya boleh dimasuki mahram; ruang sendiri untuk suami istri, anak lelaki dan anak wanita.
  • Memiliki ruang main anak, dan dirancang agar kecelakaan di dalam rumah minimum.
  • Memiliki ruang khusus taqarrub (mushola) dan suasana penuh pesan moral.
  • Memiliki ruang untuk mengembangkan diri dan meningkatkan ilmu / wawasan, seperti perpustakaan atau ruang multimedia.
  • Memberi rasa aman baik di luar maupun di dalam.
  • Didesain akrab dengan tetangga.

Inilah prinsip-prinsip arsitektur syariah.  Sekilas memang pada ruang dengan lahan luas, hal-hal ini relatif lebih mudah dipenuhi.  Namun demikian, dengan pemikiran yang seksama, sebenarnya ruang berlahan sempit pun dapat pula disiasati sehingga seluruh fungsi maqashidus syariah itu bisa terpenuhi.

 

Realitas Pendidikan di Barat

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Alumnus Vienna University of Technology, Austria

Abstrak

Pendidikan di negara-negara Barat (Eropa, Amerika) sering dicirikan sebagai pendidikan yang maju, karena memang berada di dalam siklus sebuah negara industri maju.  Namun untuk memahmi realitas pendidikan di sana, beberapa sisi harus disorot.  Aspek pertama adalah persoalan akses vs mutu, yang secara langsung berkaitan dengan peran negara di dalamnya.  Di banyak negara, upaya pemerataan akses atas pendidikan sering dalam kontradiksi dengan mutu yang didapatkan.  Aspek kedua adalah tentang muatan pendidikan, baik dalam sisi ketrampilan hidup – termasuk di dalamnya sains dan teknologi, maupun pandangan hidup.  Yang jelas, realitas pendidikan di Barat sebenarnya tidak seragam, dan tidak mudah untuk digeneralisir.

 


Realitas

Dari 200 perguruan tinggi top di dunia yang disurvei oleh majalah Times dan dipublikasikan pada November 2004, 62 universitas ada di AS.  Inggris mendapat ranking ke 2, disusul Jerman, Australia, Perancis dan seterusnya.  AS juga menduduki ranking pertama dilihat dari score maximum yang didapat oleh kampusnya. 

Sedang dihitung dari angka score rata-rata, Swiss menduduki peringkat tertinggi dengan angka 422.  Terlihat ada suatu simpangan yang cukup besar dari nilai rata-rata ke minimum dan maksimum di AS atau Inggris.  Sebaliknya di Jerman, Swiss atau Austria nilai simpangan ini sangat kecil, yang berarti mutu pendidikan di negara-negara itu relatif merata.

Scoring yang diberikan majalah Times ini meliputi penilaian dari peer (panel pakar), jumlah fakultas yang “go intenasional” dan jumlah mahasiswa dari luar negeri (yang diasumsikan menggambarkan reputasi perguruan tinggi tersebut sehingga diminati mahasiswa asing), rasio ideal dari jumlah mahasiswa per fakultas, dan jumlah karya tulis mereka yang dikutip di dunia ilmiah. 

Secara metodologis, nilai score tidak bisa dibandingkan secara linear begitu saja, karena hanya sebagai alat pembeda (differensiasi), bukan kuantifikasi.  Artinya, kampus dengan score 1000 bukan berarti 10 kali lebih baik dari yang scorenya 100.  Survei ini juga tidak merinci ke score per bidang studi yang tentunya akan bisa bervariasi.  Selain itu, indikator yang dipakai tadi tak pelak lebih menguntungkan negara-negara yang berbahasa Inggris, seperti AS, Inggris dan Australia. 

Namun walau bagaimana, daftar itu bisa menjadi cermin bahwa pada abad ke-21 ini, pendidikan yang bermutu lebih banyak dijumpai di Barat.  Dari dunia Islam, satu-satunya negara yang masuk dalam daftar itu hanya Malaysia, yang diwakili Malaya University dan Sains Malaya University.

 

Daftar negara dengan Perguruan Tinggi yang masuk Top200 versi majalah Times

Data compiled for The Times Higher by QS (http://www.qsnetwork.com), published 5 November 2004

Negara n avg min max

Keterangan:

n = jumlah perguruan tinggi yang masuk Top200

avg = score rata-rata dari yang masuk Top200

min = score minimum dari yang masuk Top200

max = score maximum

 

Secara umum memang di Indonesia sendiri, alumni perguruan tinggi dari Luar Negeri memiliki “daya jual” yang lebih baik dari lulusan dalam negeri.  Stereotype yang sering muncul adalah: lulusan LN memiliki wawasan lebih luas, memilki attitude (seperti kedisiplinan dan etos kerja) yang lebih baik, dan lebih cakap berkomunikasi dalam salah satu bahasa Internasional.  Walhasil banyak anak-anak dari keluarga kaya yang cenderung pergi sekolah ke Luar Negeri, atau ke sekolah asing di Indonesia.

Antara akses dan mutu

Sebenarnya bila melihat data di atas, tampak bahwa mutu pendidikan sangat tergantung dari besarnya dana (anggaran).  Masalahnya, dana tersebut ada yang disediakan pemerintah, ada yang swadaya. 

Pada negara-negara dengan simpangan score yang besar (AS atau Inggris), pendidikan tinggi praktis dikelola secara swadaya.  Walhasil ada PT yang sangat bonafid (dengan score 1000) seperti Harvard University, yang SPP-nya juga sekitar US$ 100.000 per semester, namun ada juga yang relatif rendah (score 103 – walaupun masih masuk Top200) yaitu Virginia Polytechnic Institute yang disubsidi oleh pemerintah negara bagian.  Sedang di negara-negara dengan simpangan score yang kecil (seperti Jerman atau Austria), pendidikan tinggi hampir seluruhnya didanai oleh negara.

Tampak di sini bahwa sistem pembiayaan pendidikan di Barat memang tidak seragam sehingga sulit digeneralisir.  Sistem ini bergantung kepada filosofi yang dominan di dalamnya. 

Pada negara-negara di mana faham sosialis cukup kuat, yang diterapkan adalah sistem ekonomi pasar (kapitalis), namun pada beberapa aspek seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, negara tetap berperan besar.  Sistem ini sering disebut “Social-capitalism” atau “social-free-market”.  Di sisi lain memang ada negara-negara yang benar-benar menerapkan ekonomi pasar termasuk di sektor ini, walaupun levelnya berbeda-beda.

Secara umum, sistem pembiayaan pendidikan di Barat dapat dibagi dalam empat jenis.

Jenis pertama adalah subsidi penuh, sehingga pendidikan benar-benar gratis.  Sebagai contoh, di Jerman dan Austria, pendidikan adalah gratis sejak masuk Sekolah Dasar hingga lulus Doktor (S3).  Walhasil tidak ada yang tersisih karena persoalan biaya.  Sekolah akan mendapatkan bibit yang terbaik dan siswa yang memang tidak berbakat atau kecerdasannya kurang memadai akan terseleksi secara alami.

Jenis kedua adalah mirip jenis pertama, hanya saja untuk pendidikan tinggi, masa gratis dibatasi misalnya hanya hingga usia tertentu atau lama studi tertentu.  Setelah itu mahasiswa dipungut biaya yang akan makin besar bila lulusnya tertunda.  Negeri yang menerapkan ini misalnya Belanda.  Tentu saja di sana selain pujian juga ada kritik atas sistem ini, karena dianggap mengabaikan kenyataan bahwa meski sekolah gratis namun biaya hidup cukup tinggi, dan ada orang-orang yang tidak memiliki biaya hidup yang cukup sehingga harus sekolah sambil bekerja, sehingga sekolahnya molor.  Fakta memang, meski gratis, yang lebih mampu memanfaatkan hanya kelas menengah ke atas; masih jarang yang anak petani atau buruh.  Bukan sekedar masalah akses, namun juga biaya tambahan (untuk hidup).

Jenis ketiga adalah pembiayaan pendidikan gratis hanya sampai lulus SMA, sedang di perguruan tinggi dipungut biaya SPP – walaupun juga masih bersubsidi.

Jenis keempat adalah pendidikan membiayai sendiri.  Caranya macam-macam, ada yang dengan melibatkan komunitas atau alumni, kerjasama dengan industri atau perbankan (kredit pendidikan) dan atau menjadikan pendidikan sebagai benda komersil.  Contoh ini banyak di Amerika, sekalipun di Amerika banyak juga model pembiayaan jenis ketiga.

Pendidikan jenis terakhir inilah yang cenderung „dijual“ secara internasional.  Kita sering melihat iklan dari perguruan tinggi Australia, Singapura atau bahkan Amerika Serikat.  Namun kita akan jarang melihat iklan sejenis dari Jerman atau Austria.  Andaikata ada, maka ia dipakai untuk: (1) merekrut calon ilmuwan unggul dari negara dunia ke-3; (2) merekrut calon agen yang akan mempromosikan dan menyalurkan produk mereka di negara dunia ke-3; (3) mendapatkan tenaga yang lebih murah minimal selama pendidikan (karena membayar kandidat PhD jelas lebih murah daripada membayar pekerja resmi – meski kualifikasi dan yang dikerjakannya sama; (4) mendapatkan anggaran tambahan dari pemerintahnya.

 

 

Uang SPP di beberapa negara EU

Negara

SPP per tahun

setara (US$)

Belgia

sekitar 18000 BFR per tahun, termasuk registrasi, kuliah, ujian dan asuransi.

560-670

Inggris

undergraduates 607 GBP; postgraduates 1890 GBP plus uang ujian dan biaya lain

1300-4320

Italia

universitas negeri 300000-400000 Lira per tahun; tergantung pendapatan keluarga

300-400

Belanda

1500-1750 NGL

1000-1270

Perancis

450 FF SPP, plus asuransi + iuran mahasiswa 1100 – 1500 FF; kecuali Grandes ecoles de commerce et de gestion (sekolah swasta di bawah KADIN): 12000-22000 FF

220-300 / 2400-4400

Sumber: UNIVERSITÄTEN 1995, p. 16, angka di sini dipengaruhi oleh perubahan (kurs, kenaikan harga, …)

 

 


Baru menggarap IQ dan EQ

Dalam masalah muatan pendidikan, aspek IQ (kecerdasan intelektual) dan EQ (kecerdasan emosi) sama-sama digarap.  Untuk menilainya tentu saja kita harus sadari bahwa di Indonesia, baru IQ yang diolah.  Maka segera akan terlihat bahwa muatan pendidikan di Indonesia memang kurang bermutu. 

Di Barat pada umumnya siswa atau mahasiswa tidak dibebani dengan jumlah materi ajar yang terlalu besar sebagaimana di Indonesia, namun mereka dibekali dengan pisau asah sehingga mampu mencari dan mengembangkan sendiri ilmu.  Sedari kecil anak dibimbing untuk mampu berpikir logis, kritis dan kreatif.

Kecerdasan emosi juga dikembangkan sehingga anak-anak yang tumbuh di sana relatif lebih percaya diri, lancar berkomunikasi baik lisan maupun tertulis, dan peka terhadap lingkungan.  Kalau masyarakat di Barat relatif lebih mampu menjaga kebersihan, rajin bekerja, dan displin saat berlalu-lintas, itu adalah buah dari pendidikan EQ yang cukup berhasil.

Dari aspek ruhiyah (kecerdasan spiritual, SQ), perlakuan institusi pendidikan tidak sama.  Di negara dengan tingkat sekulerisme yang sangat tinggi seperti Perancis, tidak ada pendidikan agama pada sekolah umum.  Pendidikan agama hanya dimungkinkan pada sekolah swasta berlatarbelakang agama.  Sedang di negara dengan kultur agama yang masih kuat (seperti Katholik di Austria), pendidikan agama diberikan secara umum di sekolah-sekolah sampai SMU.  Untuk siswa yang beragama lain diberikan juga pendidikan agama dengan guru seagama, yang semuanya dibayar oleh pemerintah (termasuk guru agama Islam – yang dikoordinir oleh Austrian Islamic Society).

Namun pendidikan agama ini hampir tidak ada pengaruhnya.  Pada .penelitian James H. Leuba (psikolog terpandang Amerika) Th.1914: 58% dari 1000 ilmuwan Amerika yang dipilih acak tidak percaya adanya Tuhan.  Tahun 1934 jumlahnya naik menjadi 67%.  Edward J. Larson (Prof. Hukum & Sejarah-University of Georgia, Amerika & pemenang Pulitzer 1998) meneliti lebih lanjut pada ilmuwan top anggota National Academy of Science.  Pada pertanyaan “Apakah percaya adanya Tuhan” ada jawaban sebagai berikut:

 

 

1914

1933

1998

Percaya

27,5%

15,0%

7,0%

Tidak percaya

52,7%

68,0%

72,2%

Ragu-ragu

20,9%

17,0%

20,8%

 

Dan tentang kehidupan setelah mati

 

 

1914

1933

1998

Percaya

35,2%

18,0%

7,9%

Tidak percaya

25,4%

53,0%

76,7%

Ragu-ragu

43,7%

29,0%

23,3%

 

Sumber:
E.J. Larson & L. Witham. Nature 394, 313 (1998)

 

Marketer Sekulerisme

Tampak di sini bahwa budaya sekuler-liberal tetap lebih berkesan dibanding pendidikan agama di sekolah yang cuma beberapa jam seminggu.  Persoalan seperti pergaulan bebas, narkoba dan kriminalitas di sekolah ada di mana-mana.  Di sisi lain, pandangan terhadap Islam, umat dan sejarahnya yang bias hampir ditemui di semua semua pelajaran (penelitian Susanne Heine: Islam Zwischen Selbstbild und Klische, Wien, 1995).

Cara pandang dan perilaku sekuler – yang tidak harus melalui indoktrinasi atau pelajaran sekolah – adalah sarana mempertahankan sistem yang ada di Barat (yakni untuk siswa mereka sendiri), dan juga mengekspornya ke seluruh dunia melalui orang-orang asing yang bersekolah di Barat.  Mahasiswa asing ini nantinya diharapkan menjadi “marketer” tentang keramahan bangsa Barat, kehandalan produk Barat, dan kemajuan cara pandang Barat.

Pada kasus beasiswa untuk ilmu-ilmu humaniora, pandangan sekuler ini akan tertanam dalam prinsip-prinsip ilmiah yang dikaji.  Penerima beasiswa dari negara-negara berkembang selama bertahun-tahun, bahkan setelah lulus, diharapkan menghasilkan paper-paper tentang berbagai hal yang dilihat dari sudut pandang kapitalis.

Sedang pada beasiswa untuk ilmu-ilmu sains dan teknologi, secara khusus memang tidak ada pengkondisian sekulerisme di kampus.  Namun realitas kehidupan Barat itu sendiri adalah cara “dakwah” terbaik tentang sekulerisme – sehingga tak sedikit mahasiswa muslim yang berkesimpulan bahwa sistem di Barat serba lebih “islami” daripada di negeri Islam sendiri.

Dengan orang-orang ini, maka imperialisme dapat dilanjutkan.  Keunggulan sains dan teknologi akan dijadikan alat imperialisme, misalnya melalui hutang LN atau ketergantungan produk LN – dan ini sering melalui anak-anak kandung umat Islam sendiri.

 

Kesimpulan:

Pendidikan di Barat secara umum memang saat ini lebih maju dibanding di negeri-negeri Islam – yang memang belum menerapkan sistem Islam.  Dalam pembiayaannya, ditemukan bahwa ketika negara mendanai penuh pendidikan, terjadi pemerataan akses – dan juga mutu.  Namun kurangnya sentuhan ruhiyah – terlebih Islam – membuat lulusannya cenderung atheis dan terdehumanisasi.  Mereka akan menjadi alat sekulerisme dan imperialisme. 

English vs Arab

MENDAULATKAN BAHASA DAULAH
SN Keluaran 16 November 2007


[SN148] Perhimpunan Agung UMNO baru sahaja berakhir dan tahun ini, ia berakhir dengan penuh emosi apabila Presiden UMNO Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi memberi amaran keras kepada pihak pembangkang agar jangan mencabar beliau dengan (mengadakan) demonstrasi jalanan yang telah dirancang. Namun, pihak pembangkang tetap berdegil dan dilihat menempelak Abdullah dengan tetap mengadakan demonstrasi jalanan yang telah dirancang sekian lama. Demonstrasi jalanan yang dianjurkan oleh gabungan parti-parti pembangkang dan NGO ini untuk menuntut pilihan raya yang adil dan bersih nampaknya telah berjaya menggusarkan kerajaan. Walaupun demonstrasi yang agak besar itu dilihat tidak dapat merubah pendirian kerajaan dan undang-undang yang sedia ada (kerana itu bukan agendanya), namun sedikit sebanyak ia telah menyedarkan rakyat bahawa pilihan raya yang dijalankan di bawah undang-undang kufur warisan British ini tidak akan pernah bersih dan adil. Dan sesungguhnya inilah hakikat undang-undang kufur – selama mana umat Islam diperintah oleh undang-undang ciptaan tangan-tangan manusia, keadilan dan kerahmatan tidak akan pernah dapat dicapai atau dinikmati. Keadilan yang hakiki hanya akan dapat dikecapi apabila pemerintahan dan undang-undang yang diterapkan adalah berasal dari Allah dan RasulNya, yang mana sistem dan undang-undangnya datang dari Kitabullah dan Sunnah RasulNya serta berpandukan pemerintahan para Khulafa’ Rasyidin. Inilah sistem Islam yang hakiki di mana undang-undang Islam adalah dicipta oleh Allah, bukannya oleh manusia sebagaimana dalam sistem demokrasi yang ada sekarang.

Selain itu, perhimpunan UMNO kali ini juga dilihat penuh kontroversi apabila ada cadangan dan desakan terhadap kerajaan (yang dipimpin oleh UMNO sendiri) untuk mengembalikan semula pengajaran Sains dan Matematik ke dalam Bahasa Melayu. Jika dahulu, apabila bekas Perdana Menteri yang juga bekas Presiden UMNO, Tun Dr. Mahathir Muhammad menetapkan pengajaran Sains dan Matematik di dalam bahasa Inggeris, maka semua ‘orang-orang bawahan’ hanya tutup mulut dan pejam mata serta terpaksa meng‘amin’kan keputusan ini, dan seperti biasa, kaki-kaki ampu malah memuji melangit akan tindakan ini. Lebih dramatik, mereka sanggup berperang mulut marahkan semua pihak, khususnya pembangkang apabila tidak bersetuju dengan ‘keputusan hebat’ ini. Setelah era Mahathir berlalu, maka tidak ada apa lagi yang perlu ditakuti atau dirisaukan, lalu suara-suara hati yang sudah lama terbuku dimuntahkan habis-habisan. Walaubagaimanapun, apa yang kita saksikan ini bukanlah suatu kejutan mahupun sesuatu yang baru dalam politik tanah air. Mungkin selepas ini jika orang lain pula yang menjadi Presiden UMNO atau Perdana Menteri dan dia mencadangkan agar pengajaran Sains dan Matematik dikekalkan dalam bahasa Inggeris selama-lamanya, maka orang bawahan akan menyokong dan melontarkan pujian ‘mengangkasa’ dan melangit sekali lagi.

Gesaan untuk mengembalikan pengajaran Sains dan Matematik ke dalam bahasa Melayu telah dibangkitkan oleh wakil Badan Perhubungan UMNO Johor, Senator Dr. Mohd. Puad Zarkashi yang menjelaskan bahawa langkah ini adalah selaras dengan Perkara 152 Perlembagaan Negara yang turut diperjuangkan oleh UMNO bagi memartabatkan bahasa tersebut ketika parti masih lagi `bayi’. Beliau seterusnya menegaskan, hanya orang Melayu yang mudah lupa sahaja yang tidak mengambil peduli untuk mengembalikan semula pengajaran kedua-dua subjek itu dalam bahasa Melayu. Beliau turut membidas tindakan kerajaan menukar penggunaan bahasa Melayu kepada bahasa Malaysia sesuka hati apatah lagi alasannya ialah supaya diterima semua bangsa dan menjadi alat perpaduan [UM 08/11/07].

Menantu Presiden UMNO yang juga Naib Ketua pergerakan itu, Khairy Jamaluddin turut mendesak agar dirombak kurikulum pendidikan dan mengembalikan pengajaran Sains dan Matematik ke dalam bahasa Malaysia. Itulah desakan Pergerakan Pemuda UMNO kepada Kementerian Pelajaran ekoran penggunaan bahasa Inggeris dalam pengajaran kedua-dua mata pelajaran penting itu sekarang tidak membawa kesan, sebaliknya ia menjadi “tembok penghalang kepada pelajar untuk memahami ilmu yang ingin disampaikan”, tegas Khairy [UM 08/11/07] yang dilihat membidas ketuanya sendiri, Datuk Seri Hishammuddin Tun Hussein selaku Ketua Pergerakan Pemuda UMNO dan juga Menteri Pelajaran. Di dalam responsnya, Perdana Menteri berkata, kerajaan akan memperhalus cadangan supaya pengajaran mata pelajaran Sains dan Matematik dikembalikan ke bahasa Melayu. Hishammuddin pula berkata, kajian menyeluruh mengenai pelaksanaan program Pengajaran dan Pembelajaran Sains dan Matematik Dalam Bahasa Inggeris (PPSMI) akan diumumkan hujung tahun depan dan bukannya pada tahun 2010. Keputusan itu dibuat setelah beliau “berbincang dengan Perdana Menteri dan Timbalan Perdana Menteri”, katanya [UM 10/11/07].

Sekilas Fakta

Sekiranya kita ke luar negara seperti Eropah, ke negara-negara Jerman, Perancis, Sepanyol atau Itali, rata-rata mereka boleh berbahasa Inggeris, tetapi mereka tidak menjadikan pengajaran sains dan matematik di negara mereka di dalam bahasa Inggeris untuk mencapai kemajuan. Keadaan yang sama sekiranya kita melawat Jepun atau Korea. Mereka ini langsung tidak mengagungkan bahasa Inggeris sebagaimana yang terjadi di negara ini. Pemimpin Malaysia pernah berdalih bahawa rakyat perlu belajar bahasa Inggeris untuk membolehkan mereka bersaing atau mencapai kemajuan, walhal hakikatnya banyak negara di dunia ini telah pun mencapai kemajuan tanpa mengguna atau mendewa-dewakan bahasa penjajah ini. Hatta ahli akademik mereka sekalipun, seperti profesor-profesor dari Jepun dan Korea yang memberi syarahan dalam bahasa Inggeris, kita akan dapati bahawa bahasa Inggeris seorang pelajar sekolah menengah di Malaysia lebih baik dari bahasa Inggeris profesor-profesor ini. Justeru, mengaitkan bahasa Inggeris dengan kemajuan adalah merupakan suatu perkara yang amat dangkal.

Bahasa Inggeris hanyalah bahasa, dan bukannya satu cabang dari ilmu Sains dan Matematik. Maksudnya bahasa Inggeris langsung bukan merupakan bahasa yang ‘perlu’ untuk memahami Sains dan Matematik, apatah lagi sebagai bahasa untuk mencapai kemajuan. Contohnya, sekiranya seseorang ingin belajar membina atau mencipta kapal terbang, roket, kereta, motosikal, komputer dan sebagainya, mereka sama sekali tidak perlu memahami bahasa Inggeris (sebagai pra-syarat) untuk berjaya mencipta kesemua ini. Malah, banyak buku panduan untuk mencipta kapal terbang, roket, kereta, motosikal dan komputer ditulis dalam bahasa Jepun, Rusia, Korea, Jerman, Perancis dan sebagainya dan mereka ini tetap maju. Hakikatnya, bahasa Inggeris bukanlah satu-satunya bahasa untuk Sains dan Matematik. Bahasa, dalam konteks ini hanyalah ‘container’ (bekas) untuk menyampaikan idea-idea Sains dan Matematik. Mana-mana bahasa pun boleh digunakan sebagai container bagi Sains dan Matematik selama mana idea-idea tersebut dapat difahami sebaik-baiknya oleh orang yang mengkajinya.

Bahasa hanyalah satu medium (perantaraan) untuk memahami ilmu. Sekiranya seorang itu selesa dan lebih memahami untuk belajar ilmu (sama ada sains, Matematik dan sebagainya) dalam bahasa ibundanya dan bukan bahasa Inggeris, maka itulah yang paling baik baginya. Pengajaran Sains dan Matematik di Jepun dan Korea dilakukan dalam bahasa Jepun dan Korea, dan mereka lebih maju dalam Sains dan Matematik berbanding Malaysia di mana pengajaran Sains dan Matematik dilakukan dalam bahasa Inggeris seperti sekarang. Menjadikan pengajaran Sains dan Matematik dalam bahasa Inggeris tidak semestinya menjadikan pelajar-pelajar lebih faham tentang Sains dan Matematik, malah mungkin sebaliknya. Dan inilah sebenarnya yang terjadi, khususnya di kalangan pelajar luar bandar (yang teramat lemah dalam bahasa Inggeris) yang merupakan pelajar yang paling tinggi jumlahnya. Dari segi logik sekalipun, sekiranya penguasaan pelajar terhadap bahasa Inggeris adalah rendah, maka adalah amat dangkal untuk mengajarkan Sains dan Matematik dalam bahasa Inggeris, kerana langkah tersebut hanya menambahkan bebanan pelajar untuk memahami Sains dan Matematik, malah lebih buruk lagi, pemahaman menjadi semakin merosot.

Ketika Dunia Islam menguasai ilmu pengetahuan (ketika Daulah Khilafah masih wujud) dan menjadi pusat peradaban dunia, orang-orang Eropah belajar daripada orang-orang Islam tentang ilmu-ilmu Sains dan Matematik. Mereka belajar bahasa Arab untuk memahami Sains dan Matematik dari orang Islam. Tetapi orang Eropah tidak menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa ibunda mereka. Mereka mengalih bahasakan buku-buku Sains dan Matematik yang ditulis dalam bahasa Arab ke bahasa mereka. Sehingga sekarang beberapa istilah bahasa Arab masih lagi dikekalkan di dalam bahasa mereka seperti cypher (yang berasal dari sifr), sugar (yang berasal dari sukkar), alkali (yang berasal dari al-qali), algebra (yang berasal dari aljabar) dan banyak lagi istilah lainnya. Kesinambungan dari ini, bahasa Arab sebagai bahasa Islam telah berjaya mempelopori lebih kurang 1/3 dunia, dan telah menjadi bahasa elit di peringkat antarabangsa. Tidak dapat dinafikan bahawa Islam dengan kekuatan bahasa Arabnya telah berjaya membina tamadun dunia sehinggalah umat Islam mula melalaikannya.

Bahasa Arab vs Bahasa Inggeris

Kekuatan Islam mula pudar apabila dunia telah melangkah ke abad 18M. Pelbagai faktor, sama ada dari dalam mahupun luar yang telah menyumbang kepada kemunduran yang amat parah ini. Sejak pertengahan abad 12 Hijriah (ke-18M), dunia Islam menggelincir dari masa kejayaannya dengan sangat cepat serta jatuh ke dalam jurang kemunduran dengan amat mengerikan. Sekalipun telah dilakukan berbagai upaya untuk membangkitkannya kembali atau setidaknya mencegah agar ketergelincirannya itu tidak berlanjut terus, akan tetapi tidak satu pun usaha-usaha tersebut membuahkan hasil. Sementara itu dunia Islam masih tetap dalam kebingungan di tengah-tengah kegelapan akibat kekacauan dan kemundurannya, serta masih terus merasakan pedihnya keterbelakangan dan berbagai goncangan ini.

Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani di dalam kitabnya, Mafahim Hizbut Tahrir menukilkan bahawa sebab kemunduran dunia Islam ini boleh dikembalikan kepada satu hal iaitu kelemahan yang teramat parah dalam hal pemahaman umat terhadap Islam, yang merasuk pemikiran kaum Muslimin. Penyebab lemahnya pemahaman ini adalah pemisahan kekuatan yang dimiliki bahasa Arab (thaqah ‘arabiyyah) dengan kekuatan Islam (thaqah Islamiyyah). Hal ini bermula tatkala bahasa Arab mulai diremehkan dalam memahami Islam seawal abad ke-7 Hijriyyah lagi. Selama kekuatan yang dimiliki bahasa Arab tidak disatukan dengan karisma Islam, yakni dengan cara menjadikan bahasa Arab (yang merupakan bahasa Islam) sebagai inti pati yang tidak dapat dipisahkan dari Islam, maka kemunduran itu akan tetap melanda kaum Muslimin. Mengapa demikian? Kerana bahasa Arab merupakan kekuatan yang mengembangkan kekuatan Islam sehingga Islam dan bahasa Arab merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Islam tidak mungkin dapat dilaksanakan secara sempurna kecuali dengan bahasa Arab. Tambahan pula, dengan meremehkan bahasa Arab, ijtihad akan hilang, kerana ijtihad tidak mungkin dapat dilaksanakan kecuali dengan bahasa Arab – sedangkan kedudukan ijtihad itu sendiri adalah amat penting bagi umat Islam, sebab tidak mungkin akan terjadi kemajuan bagi umat tanpa adanya ijtihad.

Memang benar, umat Islam akan terus beku dan jumud dan tidak akan dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan perkembangan semasa apabila tidak ada yang boleh berijtihad. Kelemahan inilah yang telah digunakan oleh Barat yang memusuhi Islam. Mereka telah berusaha bersungguh-sungguh untuk memisahkan bahasa Arab dari kaum Muslimin. Bermula dengan seruan mereka kepada semangat nasionalisme (assobiyyah) dan patriotisme (wathaniyyah) untuk melemahkan Daulah Turki Uthmaniyah, mereka seterusnya membakar semangat bangsa Turki agar cintakan bangsa dan bahasa mereka. Sebab itulah apabila Khilafah dihancurkan dan Turki berjaya disekularkan oleh Mustafa Kamal la’natullah dengan bantuan British, bahasa Arab terus dihapuskan, sehingga azan pun telah ditukar ke bahasa Turki. Apabila British mula menguasai dunia di hujung abad ke-18 dan awal abad ke-19, mereka bukan setakat menjajah umat Islam dari segi fizikal dan mengaut segala kekayaan yang ada di bumi umat Islam, mereka malah mula menjadikan bahasa mereka (bahasa Inggeris) menggantikan bahasa Arab yang selama ini menjadi bahasa antarabangsa. Sekolah-sekolah aliran Inggeris telah didirikan jauh lebih awal dari itu untuk mengajar anak-anak kaum Muslimin dengan tsaqafah (kebudayaan) dan bahasa mereka. Tidak cukup dengan itu, mereka menawarkan biasiswa dan pengajaran percuma kepada anak-anak kaum Muslimin yang bijak-pandai agar belajar di negara mereka. Berapa ramai dari kalangan cerdik-pandai ‘dijemput’ belajar di Barat (Britain khususnya) lalu mereka ini di‘brainwash’ dengan tsaqafah dan undang-undang Barat. Hasilnya, golongan terpelajar mula dirasuk dan terbius dengan tsaqafah dan hadharah Barat dan terus mengabaikan dan memandang remeh akan hukum-hukum Islam.

Ternyata, setelah British berjaya menguasai dunia Islam, diikuti oleh Amerika Syarikat (selepas Perang Dunia II), mereka turut berjaya menanamkan satu perasaan di kalangan kaum Muslimin akan ‘keagungan dan kemuliaan’ apabila mendapat pendidikan dari Barat. Anak-anak kaum Muslimin juga merasa tinggi diri dan ‘dimuliakan’ oleh masyarakat apabila lulus dengan cemerlang dari universiti-universiti di Barat (United Kingdom dan Amerika khususnya). Seterusnya dari aspek bahasa, secara automatik mereka ini apabila pulang ke tanah air terus mendaulatkan bahasa Inggeris yang mereka pelajari di sana. Dengan sistem pendidikan Malaysia yang masih berkiblatkan British (sejak dari sebelum merdeka), akhirnya bahasa penjajah ini dijadikan bahasa kedua negara, malah menjadi bahasa pengantar di beberapa buah sekolah dan institusi pengajian di Malaysia hingga kini. Dahulu, kes mahkamah-mahkamah pun mesti dibicarakan di dalam bahasa Inggeris sepenuhnya, walaupun hakim dan peguam-peguam yang mengendalikan kes tersebut berbangsa Melayu.

Bukan setakat itu sahaja, malah telah terbentuk satu pandangan umum (public opinion) bahawa bahasa Inggeris adalah bahasa yang penting, tidak kiralah sama ada untuk dipelajari, untuk mendapat kerja, untuk ‘mengangkasakan’ bangsa, untuk kemajuan negara dan lain-lain lagi. Malah, jika ada pelajar yang tidak dapat menguasai bahasa Inggeris dengan baik, pelajar tersebut dianggap lemah dan ‘gelap’ masa depannya. Oleh sebab itulah bahasa Inggeris mendapat ‘layanan istimewa’ dari para pemerintah dan diamalkan sebegitu rupa oleh mereka (dan juga beberapa golongan tertentu) di mana akhirnya bahasa ini telah dijadikan ukuran kualiti dan status sosial seseorang. Bahasa penjajah ini seolah-olah seperti telah menjadi bahasa keramat atau suci di mana seseorang itu akan dihormati dan dianggap tinggi statusnya apabila boleh menguasainya dengan baik. Tidak cukup dengan ini semua, tercipta pula satu keadaan (dalam masyarakat) di mana seseorang Muslim itu akan berasa malu (atau akan dimalukan) apabila beliau bercakap bahasa penjajah ini dengan tidak betul (broken), apatah lagi jika dia bercakap di khalayak ramai. Walhasil pada masa yang sama, Muslim tersebut tidak pernah pula berasa malu (atau dimalukan) sedikit pun jika tidak dapat menyebut perkataan Arab atau tidak dapat bercakap bahasa Arab dengan baik. Inilah di antara kejayaan kafir Barat di dalam mendaulatkan bahasa mereka ke atas umat Islam. Mereka bukan sekadar berjaya menjajah umat Islam dari segi fizikal dan pemikiran, malah dari segi bahasa pun mereka berjaya menukar kiblat umat Islam kepada mereka.

Bahasa Arab Adalah Bahasa Daulah

Oleh sebab masalah bahasa ini tidak dapat dipisahkan dari soal agama dan pemerintahan, maka sebagai seorang Muslim, kita perlu meneliti nas-nas tentang penggunaan ‘bahasa’ agar kita tidak terus terjerumus mengagungkan bahasa penjajah atau bahasa ibunda masing-masing. Kedudukan bahasa di dalam sistem pemerintahan perlu diperhalusi betul-betul agar pemerintahan yang berjalan mestilah selari dengan thariqah (jalan) yang telah diambil oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para Khulafa’ Rasyidin. Hizbut Tahrir di dalam kitabnya, Muqaddimah ad-Dustur (Pengenalan Kepada Perlembagaan Islam) telah membincangkan secara panjang lebar kedudukan bahasa Arab di dalam sesebuah Negara Islam. Fasal 8 di dalam kitab tersebut memperuntukkan bahawa “Bahasa Arab adalah bahasa Islam dan merupakan satu-satunya bahasa rasmi yang digunakan oleh Daulah Islam.” Berikut ini dihuraikan secara ringkas kupasan yang terdapat di dalam kitab tersebut.

Terdapat banyak ayat yang menerangkan bahawa Al-Quran adalah sebuah kitab yang berbahasa Arab yang tiada sedikit pun kecacatannya. Bahasa Arab merupakan bahasa Islam, bahasa Al-Quran dan bahasa yang mengandungi mukjizat. Adapun tentang dalil bahawa bahasa Arab mesti dijadikan bahasa rasmi Daulah adalah berdasarkan perbuatan Nabi itu sendiri. Nabi Sallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menghantar surat kepada Kaisar, Kisra dan Muqauqas (semuanya bangsa non-Arab) untuk mengajak mereka memeluk Islam dan surat-surat ini semuanya ditulis di dalam bahasa Arab, walaupun surat-surat itu sebenarnya boleh ditulis di dalam bahasa mereka. Hal ini menjadi dalil kepada kita bahawa Rasulullah (sebagai Ketua Negara) telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa rasmi untuk mengutus surat, apatah lagi di dalam kes ini, untuk mengajak mereka memeluk Islam, yang secara logiknya lebih baik menggunakan bahasa mereka. Jadi, ketetapan yang dilakukan oleh Rasulullah ini (walau surat untuk mengajak memeluk Islam sekalipun ditulis di dalam bahasa Arab) dengan sendirinya telah menjadi qarinah (indication/penunjukan) bahawa orang bukan Arab mesti belajar bahasa Arab, dan tidak boleh bagi Daulah Islam menggunakan bahasa lain sebagai bahasa rasmi. Imam Shafie menyatakan di dalam kitab usul fiqhnya yang terkenal, Al-Risalah bahawa, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kepada semua bangsa untuk belajar bahasa Arab kerana mereka perlu membaca Al-Quran dalam bahasa ini dan menyembah Allah (solat) dengan membaca (bahasa/lafaz asal) Al-Quran”.

Bagaimanapun, mesti difahami dengan jelas bahawa, meskipun bahasa Arab merupakan bahasa rasmi Daulah, ini tidak bermakna bahawa Daulah tidak boleh sama sekali menggunakan bahasa selain Arab untuk berkomunikasi secara rasmi. Jika komunikasi di dalam bahasa lain dipandang perlu (dalam keadaan) bagi memastikan tidak berlakunya salah faham atau untuk memperoleh maklumat-maklumat penting atau untuk tujuan dakwah ke luar negara, maka ia diperbolehkan. Ini telah dilakukan oleh Rasulullah di mana baginda pernah menggunakan bahasa Ibrani dan Syria dalam beberapa suratnya. Oleh itu, dalil ini pada hakikatnya adalah kewajipan meletakkan/menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa rasmi Daulah, dan ia tidak menghalang Daulah dari menggunakan bahasa selain dari bahasa Arab (dalam beberapa urusan rasminya), dalam keadaan tertentu.

Kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa rasmi Daulah juga tidak bermakna bahawa umat Islam tidak dibenarkan mempelajari bahasa asing (selain Arab) kerana hal ini sememangnya dibenarkan oleh Rasulullah sendiri dan beberapa sahabat pernah diperintahkan secara langsung oleh Rasulullah agar mempelajari bahasa asing. Ia juga tidak bermakna bahawa kitab-kitab berbahasa Arab tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa asing, atau tidak boleh mengarang kitab di dalam bahasa selain Arab, kerana semua hal ini pun sememangnya dibolehkan di dalam Islam. Begitu juga dengan bahasa perbualan/percakapan harian, di mana umat Islam tetap dibenarkan berkomunikasi mengikut apa-apa bahasa yang mereka sukai. Apa yang tidak dibenarkan adalah mengabaikan bahasa Arab itu sendiri di dalam kehidupan atau tidak menjadikannya sebagai bahasa rasmi Negara. Juga tidak dibolehkan jika kurikulum pendidikan mengabaikan bahasa Arab atau tidak menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa akademik di dalam setiap pembelajaran.

Khatimah

Wahai kaum Muslimin! Bahasa Arab adalah bahasa Islam. Bahasa Arab adalah bahasa Al-Quran dan bahasa Arab adalah bahasa as-Sunnah (bahasa Rasulullah). Bahasa ini telah menguasai dunia dan membina tamadun agung umat Islam sejak berabad lamanya. Pada zaman Khalifah Salim ke-3 contohnya, Amerika terpaksa membayar cukai tahunan kepada wali Khalifah di Algeria sebanyak 642,000 dolar emas dengan penambahan 12,000 lira emas Uthmani sebagai ganti pembebasan tawanan-tawanan Amerika yang ditahan di Algeria dan sebagai keizinan kepada kapal-kapal Amerika untuk belayar dengan aman di Lautan Atlantik dan Laut Mediterranean tanpa menghadapi tentera laut Uthmani di wilayah Algeria. Dan buat pertama kalinya Amerika terpaksa mengadakan perjanjian dalam bahasa selain bahasanya (perjanjian adalah di dalam bahasa Daulah) pada 21 Safar 1210 Hijrah – bersamaan 5 September 1795 Masehi. Ternyata, bahasa Arab telah sekian lama didaulatkan oleh para Khalifah di sepanjang pemerintahan mereka dan Insya Allah bahasa ini akan kembali berdaulat apabila dunia diperintah oleh Khilafah untuk kedua kalinya. Inilah satu-satunya bahasa yang wajib didaulatkan oleh umat Islam, tidak kira dari bangsa Arab, Melayu, Cina, India, Turki, Iran, Pakistan, Afrika, Eropah dan sebagainya. Ia adalah bahasa umat Islam dan bahasa Daulah Islam. Wallahu a’lam.

Teknologi Pendidikan

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 

Suara Islam no 20, minggu I-II Mei 2007

Apakah itu teknologi pendidikan?  Apa pula teknologi pendidikan Islam?  Apa bedanya dengan pendidikan teknologi?

Memperingati hari pendidikan nasional saat ini, banyak orang mengajak menoleh kepada teknologi di bidang pendidikan. 

Pertama, pendidikan teknologi kita dapat dianggap gagal.  Faktanya, pendidikan sains dan teknologi masih dianggap momok oleh mayoritas anak didik kita, sehingga masih banyak warga kita yang gagap teknologi (gaptek) – tidak terkecuali anggota DPR (yang jadi bahan lelucon karena minta Laptop), dan akibatnya makin hari kita makin tergantung pada impor teknologi yang menguras devisa kita dan memaksa kita terus berhutang ke luar negeri.

Kedua, pendidikan kita belum optimal, dan ini disinyalir karena belum digunakannya metode pendidikan kontemporer, termasuk teknologi pendidikan mutakhir.  Teknologi pendidikan lebih sering dipahami secara konvensional dengan lab-lab yang relatif mahal – dan akibatnya tidak terjangkau oleh mayoritas sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi.

Dengan demikian, pendidikan teknologi adalah pendidikan untuk menumbuhkan technological-attitude (sikap benar berteknologi) dan technological-quotient (kecerdasan berteknologi) sehingga orang memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas untuk melek teknologi, merebut teknologi, dan mengembangkan teknologi.   Sedang teknologi pendidikan adalah teknologi yang didesain untuk mendukung aktivitas pendidikan secara komprehensif.  Aktivitas pendidikan adalah aktivitas untuk membentuk manusia seutuhnya, yakni yang memiliki kedalaman iman, kecerdasan akal, kepekaan nurani, keluasan wawasan, kebijakan sikap, kreativitas karya, kehalusan estetika, keberanian berjuang dan seluruh nilai-nilai positif lainnya.

Dengan memahami pokok masalah di atas, maka jelas bahwa posisi Islam di sini adalah untuk memberi arah dan nilai dari pendidikan, dan demikian pula teknologi pendidikan.  Karena itu teknologi pendidikan Islam bukanlah sekedar teknologi untuk membantu siswa belajar shalat atau belajar membaca Qur’an, namun teknologi yang seluas pendidikan itu sendiri.  Teknologi pendidikan Islam membuat siswa mudah memahami sains dan ilmu-ilmu apapun, mampu menghubungkannya dengan Sang Pencipta dan menyadari apa tujuan diciptakannya alam serta bagaimana sains itu dapat dimanfaatkan secara syar’i.  Dia akan menguasai sains dalam pandangan hidup Islam.  Teknologi ini mengakselerasi siswa mendapatkan tujuan-tujuan pendidikan, sehingga membantu mengatasi keterbatasan kemampuan guru, sempitnya ruang kelas, kekurangan buku dan terbatasnya dana.

Di atas itu semua, teknologi pendidikan Islam seharusnya juga dibuat dengan memperhatikan prinsip-prinsip Islam, seperti kesederhanaan dan kemudahan.  Jadi akan kontradiktif ketika teknologi pendidikan islam ini justru jadi tidak terjangkau oleh mayoritas umat karena dia terlalu canggih dan mahal. 

Karena itu pertimbangan dasar teknologi pendidikan yang tepat harus juga melihat calon penggunanya.  Di pedesaan yang sederhana, teknologi berbasis bahan lokal tentu lebih disukai. Namun di perkotaan di mana tersedia listrik, komputer dan akses internet, teknologi interaktif berbasis komputer atau web mungkin menjadi alternatif yang lebih baik dan termurah.

 

Bentuk Teknologi Pendidikan Islam

Lalu seperti apa bentuk-bentuk teknologi pendidikan Islam?

Bentuk-bentuk teknologi pendidikan secara umum akan optimal bila menggunakan seluruh aspek berpikir manusia.  Manusia berpikir bila dia: (1) menerima informasi dunia realitas dari panca inderanya; (2) memasukkan informasi ke dalam otaknya; (3)  mengolah / menghubungkan informasi itu dengan informasi yang tersimpan sebelumnya. 

Karena itu teknologi pendidikan yang baik akan menggunakan (1) sebanyak mungkin jalur indera, setidaknya tekstual, visual, dan akustikal, namun tentunya lebih optimal lagi kalau juga indera penciuman, perasaan maupun perabaan; (2) sebanyak mungkin bagian otak, baik otak kiri yang bersifat analitis rasional, otak kanan yang bersifat intuitif-kreatif-emosional maupun bagian otak yang disebut God-Spot yang bertanggung-jawab atas perasaan spiritual; (3) membantu menghubungkan dengan informasi yang tersimpan sebelumnya atau yang pernah dialami atau dipelajari siswa.

Berikut ini adalah tiga contoh gagasan teknologi pendidikan Islam berbasis komputer guna mengajarkan suatu topik dalam (1) Fisika, (2) Biologi, (3) Ekonomi.

(1) Untuk mengajar fisika-mekanika, ditunjukkan film audio-visual berbagai peristiwa alam (air terjun, jatuhnya batu, pergerakan benda langit).  Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang alam semesta untuk menghubungkan intelektualitas dengan spiritualitas.  Lalu ada teks dan rumus matematis yang menjelaskan fenomena itu, dan di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan dan analisis pelajar.  Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan mekanika secara syar’i, dilanjutkan film aplikasi mekanika yang baru dipelajari (PLTA, peluncur roket untuk jihad, satelit), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan syari’at (banjir, teror atas bumi Islam, satelit mata-mata asing).    Kemudian terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi.  Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan aplikasi teknologi apapun justru dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.

(2) Untuk mengajar biologi-lingkungan ditunjukkan film audio-visual berbagai jenis mahluk hidup (pohon, serangga, mamalia).  Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang kehidupan untuk menghubungkan intelektualitas dengan spiritualitas.  Lalu ada teks dan yang menjelaskan fenomena itu, dan di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan.  Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan ekologi secara syar’i, dilanjutkan film yang menunjukkan aplikasi ekologi yang baru dipelajari (reboisasi hutan, biopestisida, peternakan), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan syari’at (kerusakan hutan, hama, kepunahan bison).    Kemudian terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi.  Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan aplikasi teknologi apapun justru dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.

(3) Untuk mengajar ekonomi perdagangan – yang berarti suatu realitas masyarakat manusia, ditunjukkan film audio-visual berbagai aktivitas manusia (jual-beli, kafilah dagang, bank).  Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang manusia yang menghubungkan intelektualitas ke spiritualitas.  Lalu ada teks yang menjelaskan fenomena itu, ditambah beberapa ayat yang spesifik mengatur sistem ekonomi di masyarakat.  Di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan.  Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan ilmu ekonomi perdagangan secara syar’i, dilanjutkan film yang menunjukkan aplikasi ekonomi yang baru dipelajari (desain pasar, jaringan logistik, bank syari’ah), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan koridor syari’at (penipuan, penimbunan, jeratan hutang). Lalu terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi.  Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan ilmu apapun dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.

Memang perlu kerja keras untuk merealisasi material teknologi pendidikan Islam untuk segala jenis topik di semua jenis pelajaran.  Namun upaya semacam ini akan menjadi mudah ketika ada dukungan masyarakat.  Dan bentuk masyarakat yang paling optimal untuk itu adalah dalam bentuk negara Khilafah.